Hal paling pokok yang diinginkan oleh ajaran Islam bagi para pemeluknya adalah takwa kepada Allah. Adapun nilai negara dan pemerintahan dalam Islam bukanlah tujuan (ghayah), melainkan hanya sebagai instrumen (wasilah) berupa ruang, tempat, dan waktu untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Dapat dikatakan, bahwa umat Islam Indonesia mampu bertakwa kepada Allah semaksimal mungkin dalam wadah NKRI, tanpa perlu terlebih dahulu meruntuhkan bentuknya dan menggantinya dalam bentuk negara Islam atau khilafah islamiyah, misalnya.
Bentuk negara tidaklah menjadi bagian integral dalam Islam. Bentuk negara merupakan persoalan ijtihadiyah, yakni sangat tergantung kepada kesepakatan para pendirinya. Sehingga bentuk negara dalam perspektif Islam bukanlah persoalan yang baku karena dalam hal ini tidak ada kejelasan baik bentuk yang dikehendaki maupun pola suksesi kepemimpinannya. Oleh sebab itu, negara tidak harus berbentuk khilafah, apalagi jika harus meliputi setiap jengkal wilayah di seluruh penjuru dunia.
Perkembangan sejarah telah membuktikan, tanpa bisa diingkari, bahwa negara-negara nasional (nation states) telah nyata dibentuk, sehingga mustahil bagi umat Islam untuk menolaknya dan memaksakan negara khilafah yang bersifat universal meliputi seluruh dunia.
Pada saat para pendiri negara ini telah menyepakati bentuk NKRI, misalnya, maka seluruh umat Islam Indonesia tidak perlu lagi menuntut atau memperjuangkan berdirinya negara khilafah atau pemerintahan Islam. Sebab yang terpenting adalah substansi (value atau nilai-nilai)nya, bukan bentuk formalnya.
Dalam bentuk negara dan sistem pemerintahan yang meskipun Islam tidak menentukan konsep definitifnya itu, namun Islam harus ditilik dari sisi fungsinya sebagai pandangan hidup dan cita-cita kemasyarakatan yang sangat penting untuk terus menerus diperjuangkan dan diwujudkan, minimal dalam tiga hal terpenting, yaitu:
- pengembangan akhlak mulia dan etika sosial,
- kebebasan melaksanakan ajaran agama,
- kesejahteraan setiap warga masyarakatnya.
Dalam ajaran Islam pun, tidak terdapat larangan bagi seorang muslim untuk menjadi seorang nasionalis, karena kaum muslim Indonesia sebagai bangsa jelas memiliki ciri-ciri dan karakteristik tersendiri yang membedakan dari bangsa lainnya, baik dari segi bahasa, etnik, bentuk fisik, warna kulit, tempat berdomisili, dan perjalanan sejarahnya. Inilah kenyataan yang tak terbantahkan.
Dan demikianlah manusia diciptakan oleh Allah dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling kenal mengenal, saling menjalin hubungan baik satu sama lain, dan bukan untuk saling merendahkan dan mendiskriminasi. Dan yang sangat penting untuk diingat oleh seorang muslim adalah bahwa menjadi nasionalis itu tidak meniscayakan hancurnya prinsip persaudaraan antar umat yang menjadi bagian dari keimanannya itu. Oleh sebab itu, Islam sesungguhnya juga tidak melarang seorang muslim pun untuk berjiwa nasionalisme (mencintai bangsa dan tanah airnya), sedangkan yang dilarang adalah fasisme atau chauvinisme. (Oleh: Kiai Ahmad Ishomuddin)