Seperti biasa, setiap pulang ke Indonesia dalam rangka liburan akadamik, saya selalu menyempatkan untuk mudik ke kampung halaman. Selain ziarah ayah dan kakak-kakak, juga menengok ibu dan keluarga lain di kampung. Selain itu juga saya sempatkan untuk ngobrol dengan warga kampung.
Yang menarik dari sekian obrolan adalah tentang Pilgub (Jateng) dan Pilbub (Batang) yang baru saja berlangsung. Menarik karena warga kampung umumnya nggak mengenal "jenis kelamin" dan "kualitas" para kandidat yang sedang berlaga.
Lalu, kenapa mereka memilih si A atau si B? Ternyata mereka memilih si anu atau si inu itu karena ikut-ikutan tokoh-tokoh lokal mereka masing-masing saja yang selama ini menjadi "panutan". Di antara "tokoh lokal" itu adalah tokoh agama, lurah / kades atau para kandidat yang pernah berlaga di Pilkades (Pemilihan Kepala Desa).
Tingkat loyalitas mereka cukup lumayan. Jadi misalnya, orang-orang yang dulu waktu Pilkades milih si A, maka waktu Pilbub dan Pilgub (juga Pilpres) akan memilih jago / kandidat yang dipilih oleh si A tadi. Demikian pula, orang-orang yang dulu memilih si B dalam Pilkades, nanti mereka akan memilih calon bupati, gubernur, atau presiden yang dipilih oleh si B.
Setiap kandidat Pilkades mempunyai "botoh" atau "senopati-senopati" pendukung yang loyal. Mereka inilah yang bergerak mempengaruhi massa untuk memilih kandidat tertentu.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah "uang sogok". Siapa yang membayar lebih tinggi, maka dialah yang akan dipilih. Sangat simpel. Dan orang-orang Indonesia itu, baik laki maupun perempuan, orang kota maupun wong ndeso, tua maupun muda, sama-sama hobi "sogok-menyogok".
Maka berhati-hatilah dan waspadalah dengan "politik uang" atau strategi "sogok-menyogok" ini yang bisa membeli suara sebanyak-banyaknya untuk memenangkan kandidat tertentu. Jangankan wong kampung yang miskin-miskin dan kurus-kering, orang-orang kota yang kaya-kaya dan perutnya gendut-gendut ndlewer saja doyan banget sama kardus dan sogokan.😏🤔 (Oleh: Prof. Sumanto Al Qurtuby)