Bagi manusia yang beriman kepada wujud akhirat, maka hakikatnya dunia ini hanyalah tempat persinggahan. Dunia ini diciptakan sebagai bekal bagi musafir (pejalan) yang menempuh jalan menuju akhirat. Oleh karena itu, musafir yang memahami tujuannya, yakni akhirat, tidak memberatkan dirinya dengan mengumpulkan sebanyak mungkin perbekalan (dunia), namun ia mengambil apa yang patut saja sebagai bekal menuju akhirat, yakni amal perbuatan tertentu yang baik-baik (al-a'mal al-shalihat).
Andaikata manusia di dunia ini mau mengambil perbekalan menuju akhirat dengan adil dan sama sesuai keperluan niscaya tidak terjadi perselisihan di antara mereka, tidak terjadi berbagai kezaliman, dan keberadaan aparat penegak hukum tidak diperlukan.
Akan tetapi banyak manusia yang dengan rakus mengumpulkan isi dunia ini karena dorongan hawa nafsu, sehingga melahirkan perselisihan, perseteruan dan silang sengketa. Oleh sebab itu, di dunia ini sangat diperlukan adanya pemerintah/penguasa atau hakim yang mampu mengelola, menjaga, dan mengawasi perilaku mereka terkait apa saja yang sering mereka perselisihkan. Maka dari itu diperlukan seperangkat aturan (qanun/perundang-undangan) sebagai rujukan untuk mengendalikan dan mengatur mereka.
Jadi, khususnya aparat penegak hukum (al-faqih) seharusnya memahami aturan perundang-udangan dan cara yang adil dalam menyikapi setiap persengketaan karena adanya manusia yang bersikap semaunya sendiri, yakni mereka yang memperturutkan hawa nafsu dalam urusan duniawi, meski dengan dalih agama.
Aparat penegak hukum (al-faqih) sudah seharusnya menjadi guru dan pembimbing (mursyid) dan penentu arah jalan (guide) bagi pemerintah agar mengenali cara untuk mengelola, mengendalikan dan mengatur rakyatnya dalam urusan-urusan dunia mereka secara adil, patut, santun dan bijaksana.
Di negara kaum beragama ini, tentu saja tidak boleh ada aturan perundang-undangan yang substansinya bertentangan dengan ajaran agama dan keluar darinya, bahkan setiap aturan dalam urusan duniawi itu perlu bersumberkan pada ajaran agama. Aturan agama tidak akan terwujud dan terlaksana dengan sempurna tanpa kemakmuran dan kemaslahatan dunia. Kekuasaan (pemerintahan) dan agama adalah dua teman karib yang saling melengkapi. Adapun agama adalah landasan dan fondasi, sedangkan penguasa/pemerintah adalah penjaga dan pemeliharanya. Sehingga apa saja yang ditegakkan tanpa fondasi yang kokoh maka pasti runtuh, sedangkan apa saja yang tidak ada penjaganya pasti tersia-sia dan rusak binasa. (Oleh: Kiai Ahmad Ishomuddin)