Jangan hanya bisa bangga dengan seorang Tokoh, tapi berusahalah untuk menjadi seorang Tokoh! Karena ketika seorang tokoh atau panutan sudah tidak ada (meninggal dunia), ia akan tetap selalu dikenang, dan kita pastinya merasa kehilangan namun tidak bisa meneruskan ataupun menggantinya karena kita tidak berbuat sesuatu hal yang bisa menjadikan kita penerusnya. Akhirnya kita tidak mempunyai lagi tokoh atau panutan dikarenakan kita hanya terbuai dengan kebanggaan seorang tokoh.
Jangan hanya bangga bisa menjadi santri di pesantren ternama yang diasuh oleh ulama terkemuka, jika kita tidak bisa membuat harum pesantren dimana kita menimba ilmu serta tidak bisa membuat bangga hati ulama yang menjadi guru kita. Kebanggaan kita seperti ini justru membuat beban guru-guru kita. Jangan hanya bangga ketika kita bisa menuntut ilmu di Universitas Negeri favorit, jika kita belum bisa berbuat sesuatu dari ilmu yang kita dapat untuk memajukan kepentingan bersama.
Jangan hanya bisa bangga bisa ikut dalam ormas Islam terbesar di Indonesia bahkan di dunia, jika kita hanya membuat malu para muassis (pendiri) ormas tersebut. Ormas Islam yang didirikan untuk menyebarkan Islam yang rahmatan lil alamin, bukan cuma rahmatan lil muslimin.
Dan jangan cuma bisa bangga dengan menjadi warga negara Indonesia jika kita tidak mau berusaha untuk membangun dan memajukan bangsa & negara Indonesia tercinta. Kita bangga dengan Indonesia yang kaya akan sumber daya alam serta sumber daya manusianya, namun tidak bisa menjaga dan mengelola dengan sebaiknya. Malah melupakan dan merusaknya.
Mengapa kita hanya bisa merasa bangga? Karena kita hanya lebih mementingkan diri sendiri (egois) daripada mengutamakan kepentingan umum (bersama). Sikap apatis kita seperti inilah yang merusak sendi kehidupan sosial masyarakat. Mari kita bersama-sama berbuat sesuatu untuk minimal untuk lingkungan sekitar kita dengan sekecil apapun yang kita bisa dan kita punya, sekalipun nantinya kita tidak menjadi seorang tokoh dan tidak menjadi apa-apa, tapi setidaknya kita telah lulus menjadi manusia. Karena pada prinsipnya, manusia yang memanusiakan manusia lah yang pantas disebut manusia.