Melamar (khitbah) merupakan sesuatu yang sunah dalam sebuah pernikahan. Biasanya lamaran dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan. Tradisi ini berlaku dan dipertahankan di berbagai daerah sampai saat ini. Bahkan, tidak jarang tradisi semacam ini tetap dilakukan meski sebenarnya hanya bersifat formalitas belaka, sebab sebelumnya sudah ada kata sepakat dari kedua belah pihak.
Yang menjadi permasalahan, sebuah lamaran jika telah dilakukan apakah itu adalah bersifat mengikat? Atau masih bersifat opsional? Mengingat belum terjadinya akad nikah. Namun, jika sebuah lamaran digagalkan pasti akan membuat salah satu pihak merasa sakit hati.
Para ulama berpendapat, ada dasarnya lamaran itu bukanlah sesuatu yang mengikat. Dalam arti boleh-boleh saja menarik kembali persetujuan pada sebuah lamaran.
Seorang wali yang memiliki kuasa atas perempuan (sebab ia masih perawan) atau seorang perempuan yang sudah independen (sebab ia janda) boleh menggagalkan persetujuan atas sebuah lamaran yang sebelumnya telah disetujui. Dan hukumnya tidak makruh jika memang ada sebuah alasan mendasar yang jelas dan dapat diterima. Sebab pernikahan adalah sebuah ikatan yang berkelanjutan, jika terjadi sedikit kesalahan saja maka efeknya akan berkepanjangan.
Namun jika tidak ada alasan yang jelas dan tidak bisa diterima, maka hukum menggagalkan lamaran adalah makruh. Sebab menggagalkan lamaran yang sudah disetujui termasuk daripada ingkar terhadap janji dan menarik kembali ucapan yang keluar dari mulut.
Namun, mengapa hal tersebut tidak diharamkan? Sebab hak yang ada dalam sebuah lamaran bukanlah hak yang mengikat seperti halnya orang yang menawar sebuah barang, namun ia tidak jadi membeli.