Pada suatu hari, Kiai Hamid Pasuruan mengadakan peringatan Maulid Nabi di kediamannya, di dekat Masjid Jami' Kota Pasuruan. Tentu saja, dengan mengundang para masayikh dan sesepuh NU dan pengasuh pesantren.
Di antaranya adalah Kiai As’ad Syamsul Arifin Situbondo dari Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo Situbondo.
Kebetulan Kiai As’ad duduk di sebelah kanan Kiai Hamid. Sedangkan sebelah kiri adalah Kiai Achmad Shiddiq Jember.
Tibalah saatnya berdiri mahallul qiyam. Semua yang hadir pada berdiri. Hanya Kiai Hamid yang tidak berdiri. Semua tamu yang jumlahnya ribuan terheran-heran dengan sikap Kiai Hamid. Setelah selesai acara, semua pada pulang, tinggallah dua kiai sepuh dan para masayikh.
"Bagaimana njenengan niki, Kiai (Bagaimana Anda ini kiai), baca Shalawat kok nggak mau berdiri?” Kiai As’ad menegur Kiai Hamid.
Kiai Hamid menangis tersedu-sedu sambil menjawab:
“Saya tidak punya daya untuk berdiri sebab Kanjeng Nabi berdiri tepat di depan saya. Saya merasa kehabisan akhlak. Jangankan ilmu, ibadah dan mujahadah saya, dari pakaian pun saya malu bertemu Kanjeng Nabi.”
Demikian pernah dikisahkan Kiai As’ad Syamsul Arifin dalam suatu majelis beliau kepada para santrinya. Allahumma Shalli 'Ala Sayyidina Muhammad.