Beberapa waktu yang lalu saya telah memposting tentang Pentingnya Mengetahui Jenis-Jenis Ular Di Sekitar Kita, karena mengingat banyak sekali ular-ular yang hidup di Indonesia maka kita harus mengenalinya, melanjutkan postingan itu, ada 2 jenis ular yang sering dianggap sama padahal aslinya berbeda yaitu ular welang dan ular cincin emas.
Ular cincin emas/ular tali wangsa atau mangrove snake/gold-ringed cat snake (Boiga dendrophila) adalah salah satu jenis ular yang sering dikelirukan dengan ular welang (Bungarus fasciatus) yang berbisa tinggi karena sama-sama memiliki pola belang hitam dan kuning di punggungnya (atau belang hitam dan putih pada beberapa individu dari kedua spesies).
Sebenarnya, keduanya mudah dibedakan. Ular welang memiliki belang kuning yang sama lebar dengan belang hitamnya, sedangkan ular cincin emas memiliki belang kuning yang lebih sempit daripada belang hitamnya (itu sebabnya diberi nama "cincin emas"). Kalau diperhatikan dengan seksama, ular welang, sebagaimana ular anggota genus Bungarus yang lain, memiliki sisik vertebral/sisik mid dorsal (sisik di atas tulang punggung/sisik di tengah punggung) yang bentuknya berbeda dan lebih besar dari sisik yang lain, sedangkan ular cincin emas tidak memiliki sisik demikian. Ular welang adalah ular terestrial (hidup di tanah) sedangkan ular cincin emas adalah ular arboreal (hidup di pohon), sesuai dengan nama spesiesnya "dendrophila" yang berarti "pecinta pohon", sehingga bila menemukan seekor ular berbelang hitam dan kuning di atas pohon, besar kemungkinan itu adalah ular cincin emas.
Meskipun mirip, ular cincin emas dan ular welang berkerabat jauh. Ular welang termasuk family Elapidae, family ular bertaring bisa depan pendek, dan umumnya berbisa tinggi. Sedangkan ular cincin emas termasuk family Colubridae, family terbesar dalam subordo ular/serpentes, yang kebanyakan tidak berbisa, tetapi ular cincin emas termasuk yang berbisa kekuatan menengah bagi manusia, dengan taring bisa di bagian belakang rahang atas. Bila pada ular welang, sebagaimana family Elapidae yang lain, bisanya berasal dari kelenjar bisa modifikasi dari kelenjar parotid/kelenjar ludah, pada ular cincin emas, bisanya berasal dari kelenjar Duvernoy yang berada di belakang matanya.
Ular cincin emas memiliki wilayah penyebaran di Asia Tenggara: Kamboja, Myanmar, Thailand, Vietnam, Filipina, Singapura, Malaysia dan Indonesia (Sumatra, Bangka, Belitung, Kepulauan Riau, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi). Meskipun namanya dalam bahasa Inggris adalah mangrove snake (ular bakau), ular ini juga sering ditemukan di pepohonan hutan hujan dataran rendah. Ular cincin emas adalah hewan nocturnal (aktif di malam hari). Makanan utama ular ini adalah burung, tetapi ular cincin emas juga akan memangsa hewan lain bila merasa lapar dan ada kesempatan, seperti: reptil (ular lain dan kadal), katak atau tikus. Ular ini adalah spesies terbesar dari genus Boiga, dewasanya mampu mencapai panjang 2,5 meter. Ular cincin emas berkembang biak dengan cara bertelur (ovipar).
Ular ini dapat bersikap agresif dan mencoba menggigit saat merasa terganggu. Kekuatan bisanya yang termasuk kategori menengah bagi manusia, biasanya hanya menyebabkan nyeri dan bengkak di lokasi gigitan. Tetapi bila ular ini dibiarkan melakukan "chewing" atau mengunyah saat menggigit (cara ular ini memompa keluar bisanya dari kelenjar duvernoy), efek gigitannya dapat cukup menyakitkan dan menjalar, bahkan pada beberapa kasus, korbannya harus mendapat penanganan medis di RS. Meski begitu, belum pernah terdengar laporan resmi, adanya kasus fatal atau kematian pada manusia akibat gigitan ular cincin emas.
Denmotoxin, nama bisa ular ini, memiliki keunikan. Denmotoxin adalah bird specific toxin, bisa yang mematikan khusus bagi klas aves (burung), tetapi kekuatan bisanya jauh lebih lemah (hingga 1%nya saja) bila disuntikkan pada hewan mamalia dan manusia. Keunikan denmotoxin ada hubungannya, dan memang disesuaikan, dengan mangsa utama ular ini, yaitu burung.
Karena kecantikan warnanya dan kekuatan bisanya "hanya" menengah, ular ini sering dijadikan hewan peliharaan, bukan hanya di Indonesia, bahkan diminati di luar negeri. Ada berbagai laporan ditemukannya ular cincin emas di alam liar Amerika Serikat, menunjukkan bahwa, tak jarang ular peliharaan import jenis ini lepas di sana. Hal ini menimbulkan kecemasan akan kemungkinan ular cincin emas menjadi spesies invasif asing berikutnya di wilayah Amerika Serikat yang beriklim relatif hangat, seperti Florida misalnya (mengikuti jejak Python Burma/Python bivittatus yang sudah menjadi spesies asing invasif di sana).
Meskipun mirip, ular cincin emas dan ular welang berkerabat jauh. Ular welang termasuk family Elapidae, family ular bertaring bisa depan pendek, dan umumnya berbisa tinggi. Sedangkan ular cincin emas termasuk family Colubridae, family terbesar dalam subordo ular/serpentes, yang kebanyakan tidak berbisa, tetapi ular cincin emas termasuk yang berbisa kekuatan menengah bagi manusia, dengan taring bisa di bagian belakang rahang atas. Bila pada ular welang, sebagaimana family Elapidae yang lain, bisanya berasal dari kelenjar bisa modifikasi dari kelenjar parotid/kelenjar ludah, pada ular cincin emas, bisanya berasal dari kelenjar Duvernoy yang berada di belakang matanya.
Ular cincin emas memiliki wilayah penyebaran di Asia Tenggara: Kamboja, Myanmar, Thailand, Vietnam, Filipina, Singapura, Malaysia dan Indonesia (Sumatra, Bangka, Belitung, Kepulauan Riau, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi). Meskipun namanya dalam bahasa Inggris adalah mangrove snake (ular bakau), ular ini juga sering ditemukan di pepohonan hutan hujan dataran rendah. Ular cincin emas adalah hewan nocturnal (aktif di malam hari). Makanan utama ular ini adalah burung, tetapi ular cincin emas juga akan memangsa hewan lain bila merasa lapar dan ada kesempatan, seperti: reptil (ular lain dan kadal), katak atau tikus. Ular ini adalah spesies terbesar dari genus Boiga, dewasanya mampu mencapai panjang 2,5 meter. Ular cincin emas berkembang biak dengan cara bertelur (ovipar).
Ular ini dapat bersikap agresif dan mencoba menggigit saat merasa terganggu. Kekuatan bisanya yang termasuk kategori menengah bagi manusia, biasanya hanya menyebabkan nyeri dan bengkak di lokasi gigitan. Tetapi bila ular ini dibiarkan melakukan "chewing" atau mengunyah saat menggigit (cara ular ini memompa keluar bisanya dari kelenjar duvernoy), efek gigitannya dapat cukup menyakitkan dan menjalar, bahkan pada beberapa kasus, korbannya harus mendapat penanganan medis di RS. Meski begitu, belum pernah terdengar laporan resmi, adanya kasus fatal atau kematian pada manusia akibat gigitan ular cincin emas.
Denmotoxin, nama bisa ular ini, memiliki keunikan. Denmotoxin adalah bird specific toxin, bisa yang mematikan khusus bagi klas aves (burung), tetapi kekuatan bisanya jauh lebih lemah (hingga 1%nya saja) bila disuntikkan pada hewan mamalia dan manusia. Keunikan denmotoxin ada hubungannya, dan memang disesuaikan, dengan mangsa utama ular ini, yaitu burung.
Karena kecantikan warnanya dan kekuatan bisanya "hanya" menengah, ular ini sering dijadikan hewan peliharaan, bukan hanya di Indonesia, bahkan diminati di luar negeri. Ada berbagai laporan ditemukannya ular cincin emas di alam liar Amerika Serikat, menunjukkan bahwa, tak jarang ular peliharaan import jenis ini lepas di sana. Hal ini menimbulkan kecemasan akan kemungkinan ular cincin emas menjadi spesies invasif asing berikutnya di wilayah Amerika Serikat yang beriklim relatif hangat, seperti Florida misalnya (mengikuti jejak Python Burma/Python bivittatus yang sudah menjadi spesies asing invasif di sana).
Dari hasil penjelasan diatas, sekarang sudah tahu belum nih mana yang ular welang dan mana yang ular cincin emas pada gambar diatas.